Senin, 03 Juli 2017

Anak Desa


Anak Desa
Oleh Novi 





Kadang saya bingung, saat memisahkan skala antara desa dan kota. Adakah alat untuk membedakannya? Selain atmosphere, selain kehidupan sosial, selain toleransi, selain kepadatan penduduk,selain basa basi? 

Sebagai makhluk yang terlahir disebuah tempat bernama desa, saya merasa heran dengan pertanyaan yang terkesan melecehkan namun sesungguhnya menyenangkan bahkan mengenyangkan. Kamu anak desa? Dengan senang hati saya menjawab, Ya, saya anak desa? Kamu?

Dia tertawa dengan jawaban saya, seraya mengatakan, pantas!

Lhaa… situ yakin seratus persen orang kota?

Jika demikian, coba jelaskan pada saya perbedaan desa dan kota, paling tidak berikan saya satu kata yang mewakili keberadaan tempat yang kau anggap sebagai kota itu. Lhaa dia diam dan terpelongo.

Baiklah, kalu begitu saya akan menjelaskan apa yang kau sebut desa dan kenapa saya bangga terlahir sebagai anak desa.

Saya terlahir di desa, tidak…kampung! sebagai anak kampung yang bau lisung saya berasumsi bahwasanya kampung adalah tanah syurga yang dimaksud koesploes dalam lagunya. Tak yakin? Mari kita tengok catatan sejarah terlahirnya tokoh-tokoh besar di Indonesia, bahkan dunia adalah mereka yang terlahir di sebuah tempat bernama desa. Kau ragu? Mungkin di kepalamu terlintas pertanyaan, jika memang benar demikian, lantas kenapa kau pergi ke kota dan menjadi bagian dari masyarakat kota? Oke, biar saya jelaskan. 

Seorang ulama besar pernah berakata bahwa seorang yang beriman dan memiliki akal tidak akan berdiam diri di kampung halamannya. Dia akan berhijrah ke tempat lain, sebut saja kota menemukan banyak hal disana, kemudian kembali dan membangun kampung halaman dengan apa yang telah ia dapat di tempat tersebut. ya kurang lebih seperti itu, saya bukan orang yang pandai mengingat. Dan kau tahu, dari mana asal nasi yang kau makan, air yang kau minum, buah, sayur bahkan udara yang kau hirup setiap detik, kau fikir darimana? Saya yakin itu semua berasal dari tempat yang kau hinakan itu. Jika memang saya salah, mari buktikan. Berapa banyak pohon yang ada di tempat yang kau anggap kota itu? Berapa sawah yang ada di tempat yang kau anggap kota itu? Berapa kebun di tempat yang kau anggap kota itu? Saya kira masih bisa kau hitung dengan jari. Sementara di tempat yang kau anggap tidak lebih baik dari kotamu itu, segalanya melimpah ruah. Hanya saja paradigma mengukung mereka terjebak dalam satu ruang keterbatasan. Tak seperti kalian yang katanya tinggal di kota itu.

Berdasarkan mini riset yang pernah saya lakukan di kelas saya, delapan puluh persen teman seangkatan saya berasal dari desa. Dan kemampuan mereka beradaptasi dan menerima pelajaran bahkan diatas rata-rata, bahkan bisa melebihi mereka yang lahir dan tumbuh di kota. Selain itu, tidak kurang dari tujuh puluh persen dosen di jurusan saya, juga berasal dari desa. Ini membuktikan bahwasanya menjadi anak desa bukanlah sebuah, aib, kutukan, kamseupay atau apalah semacamnya. 

Ihwal kehidupan sosial, pergaulan, keterbukaan kemajuan, pembangunan, mungkin kota bisa setingkat lebih baik dari desa. Namun pada hal-hal lainnya, seperti tolong-menolong, gotong-royong, tenggang rasa, budaya, lingkungan, justru sebaliknya.

Jika memang jadi anak desa itu aib, maka aib terindah yang saya miliki adalah menjadi anak desa yang tak perlu ngemall, nyalon, hangout atau apalah yang kalian anggap gaya hidup kekinian itu. Jika menjadi anak desa sebuah kutukan, saya kira kutukan terindah dalam hidup saya adalah menjadi gadis desa yang gak pernah berkenalan dengan yang namanya blash on, eye shadow, eye liner atau apalah yang kau bilang alat perang wanita kekinian itu. Bukankah cantik itu luka? Dan sayangnya saya lebih memilih untuk tidak cantik. 

Sebagai terpelajar, patutlah kita bersikap adil sejak dalam fikiran, apalagi dalam perbuatan. Begitulah Pramoedya berujar dalam tertraloginya. Desa-kota, kota-desa? What wrong? Plus-minus tergantung kacamata apa yang kita gunakan. 



0 komentar:

Posting Komentar