Kamis, 29 Juni 2017

RESENSI BUKU REVOLUSI DARI SECANGKIR KOPI

RESENSI REVOLUSI DARI SECANGKIR KOPI 





Penulis                           : Didik Fortunadi

Penerbit                         : Mizan

Jumlah Halaman           : 446 Halaman

Tahun Terbit                  : 2014

Resensi                          : Alfi Falhi



Sebuah novel karya Didik Fortunadi, dari judulnya saja sudah membuat kita bertanya – tanya kenapa kopi bisa mendatangkan revolusi ?. 

Revolusi dari Secangkir kopi merupakan catatan – catatan Didik Fortunadi aktivis mahasiswa 98 yang berusaha menggambarkan perjuangan mahasiswa sebelum dan sesudah 98 melakukan perlawanan terhadap orde baru. 

Dibagian permulaan buku dihiasi dengan nuansa persahabatan yang begitu kental, diceritakan bagaimana mirisnya nasib keluarga eks PKI termasuk salah satunya yang menimpa Yatno, sahabat Didik Fortunadi yang tidak bisa melanjutkan perkuliahannya karena keluarganya mantan Anggota PKI. Juga nasib sahabat Didik yaitu Siswanto, seorang anak cerdas namun bernasib sama seperti Yatno tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan dikarenakan ekonomi keluarganya yang sangat mencekik. 

Setelah itu Dikdik Fortunadi coba menggambarkan perjuangan keluh kesah dirinya sebagai Mahasiswa ITB jurusan Geologi. Dimulai dengan mencari kos kosan yang sangat sempit & murah sampai bagaimana dirinya menjalin kisah asmara dengan Nanda, seorang mahasiwi ITB. 

PSIK merupakan sebuah ormawa ITB yang menjadi pilihan Didik Fourtunadi untuk memulai mengembangankan dirinya sebagai insan intelektual. Semenjak itu harinya – harinya banyak diisi dengan berdiskusi mulai dari pembahasan akan sebuah Tirani Birokrat kampus yang menjenggal para aktivis mahasiswa sampai hegemoni rezim militer Soeharto dibarengi secangkir kopi juga sekepul asap yang berasal dari kertas dan tembangkau. 

Puncak perlawanan Didik terjadi ketika dirinya memutuskan untuk ikut bersama -sama teman ITB dan kampus lainnya berangkat ke Jakarta dalam sebuah peristiwa yang kelak akan disebut Tragedi 98. Suasana haru, bimbang, senang, takut, bercampur padu dengan nuansa api perjuangan juga persahabatan & cinta. 

“ Lalu Mataku terpaku pada spanduk hitam yang terbentang dibelakang tendanya. Sepintas lalu tidak ada yang ganjir dengan spanduk itu, tetapi keningku menjadi berkerut ketika kusadari tulisannya sudah berubah. Hari ini kalimatnya “ KAMI MAKIN TAKUT”. 

“Dalam Kehidupan yang naik turun ini, semua manusia pernah terjatuh, terkoyak bahkan belepotan kotoran akibat keputusan yang dibuat akan situasi menerjang. Dalam kondisi seperti itu, ada rasa tak berharga muncul rasa terpuruk. Pelajaran penting yang kuperoleh dipengalaman ini, bahwa ketika manusia dalam kondisi terpuruk, ia pada situasi paling sensitive. Senyum dan canda kawan seolah ejekan. Diamnya kawan adalah penghinaan. “ 

“Terik mentari pukul dua siang bolong ini tak mampu menggoyahkan barikade. Kami sudah terbakar, kami hanya mematung dan tegang menunggu. Dari sisi kiri dan kanan, kudengar komat – kamit para mahasiswa memanjatkan doa, minta selamat, minta perlindungan Allah. Bahwa dalam hitungan detik ke depan, kami bisa masuk dalam pusaran rusuk yang tak terkira. Bahwa nyawa bisa melayang untuk membayar idealis kami, untuk cinta kami pada negri ini.” 

Di zaman ingar binger dan serba mudah mengecap sekolah sekarang ini, rasanya tak relevan lagi sebutan siwa yang maha itu. Saat ini menjadi mahasiswa tidaklah sesulit dulu bahkan mudah. Jelas syarat minimalnya punya uang. Lihat, dimana mana institusi pendidikan menjamur. Tidak memandang berjenjang setahun atau lima tahun, entah berkualitas atau hanya mentereng gedung kuliahnya saja. Tak peduli manusia – manusianya telah membaca buku bermutu atau masih suka menonton kartun anak – anak. Tak membedakan lagi siapa yang membangun bangsa atau manusia berbaju Tank top serta sibuk dengan warna cat rambut. Tidak memilih apakah hedonis aau tidak, semua tetap berhak menyandak gelar mahasiswa 

Selamat membaca…..

0 komentar:

Posting Komentar